Implementasi sistem absensi digital tidak hanya soal memilih teknologi yang tepat, tetapi juga tentang memastikan seluruh prosesnya sejalan dengan koridor hukum yang berlaku. Di Indonesia, pencatatan waktu kerja dan perhitungan upah adalah dua hal yang diatur secara ketat oleh regulasi ketenagakerjaan. Mengabaikan aspek hukum absensi dapat berujung pada perselisihan hubungan industrial, sanksi administratif, bahkan gugatan hukum.

Bagi departemen HR, memastikan kepatuhan HR (HR compliance) adalah prioritas utama. Oleh karena itu, sistem absensi digital yang dipilih dan kebijakan yang menyertainya harus dirancang dengan mempertimbangkan peraturan perundang-undangan, termasuk pembaruan yang relevan dalam UU Cipta Kerja terkait absensi dan pengupahan.

Artikel ini akan menguraikan beberapa aspek hukum krusial yang harus diperhatikan oleh perusahaan saat menerapkan dan mengelola sistem absensi digital karyawan di Indonesia.

1. Kewajiban Pencatatan Kehadiran sebagai Dasar Perhitungan Upah

Ini adalah fondasi hukum paling mendasar. Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, yang beberapa ketentuannya diubah oleh UU Cipta Kerja, secara implisit maupun eksplisit menegaskan bahwa upah dibayarkan atas pekerjaan yang dilakukan. Pencatatan kehadiran menjadi bukti utama pelaksanaan pekerjaan tersebut.

  • Implikasi Hukum:
    • Perusahaan wajib memiliki daftar kehadiran karyawan.
    • Daftar kehadiran ini harus mampu mencatat jam kerja secara akurat karena menjadi dasar utama dalam perhitungan upah pokok, tunjangan kehadiran (jika ada), dan potongan gaji akibat keterlambatan atau ketidakhadiran tanpa keterangan.
  • Peran Absensi Digital: Sistem absensi digital menyediakan catatan yang akurat, terperinci, dan sulit dimanipulasi. Log digital ini dapat menjadi bukti yang sangat kuat dan sah di mata hukum jika terjadi sengketa pengupahan, karena datanya objektif dan tercatat oleh sistem, bukan oleh interpretasi manusia.

2. Perhitungan Upah Lembur yang Akurat

Peraturan Pemerintah (PP) No. 35 Tahun 2021, sebagai turunan dari UU Cipta Kerja, mengatur secara detail mengenai waktu kerja lembur dan cara perhitungannya. Ini adalah area yang paling sering menjadi sumber perselisihan.

  • Implikasi Hukum:
    • Kerja lembur harus didasarkan pada perintah tertulis dari pengusaha dan persetujuan tertulis dari pekerja/buruh.
    • Perusahaan wajib membayar upah kerja lembur dengan perhitungan yang sesuai dengan peraturan (misalnya, 1,5x upah sejam pada jam pertama lembur di hari kerja, dst.).
  • Peran Absensi Digital:
    • Bukti Perintah dan Persetujuan: Sistem absensi digital modern seringkali memiliki modul manajemen lembur. Alur pengajuan dan persetujuan lembur yang tercatat secara digital dapat dianggap sebagai bukti “perintah dan persetujuan tertulis” yang sah.
    • Kalkulasi Otomatis: Sistem dapat secara otomatis menghitung upah lembur sesuai dengan rumus yang ditetapkan dalam PP No. 35 Tahun 2021 berdasarkan data clock-in dan clock-out yang valid. Ini mengurangi risiko kesalahan perhitungan yang bisa berujung pada tuntutan kekurangan pembayaran upah lembur.

3. Perlindungan Data Pribadi Karyawan

Dengan disahkannya Undang-Undang No. 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP), perusahaan kini memiliki tanggung jawab hukum yang lebih besar dalam mengelola data karyawan.

  • Implikasi Hukum:
    • Perusahaan, sebagai Pengendali Data Pribadi, wajib mendapatkan persetujuan yang sah dari karyawan (Subjek Data) untuk memproses data pribadi mereka.
    • Perusahaan wajib melindungi data pribadi yang dikumpulkannya dari kebocoran atau penyalahgunaan.
  • Peran Absensi Digital:
    • Persetujuan (Consent): Saat pertama kali menggunakan aplikasi absensi, harus ada klausul persetujuan (consent clause) yang jelas, di mana karyawan mengonfirmasi bahwa mereka paham dan setuju data lokasi (GPS) dan biometrik (wajah) mereka akan diproses untuk tujuan verifikasi kehadiran.
    • Keamanan Data: Perusahaan harus memastikan bahwa vendor penyedia sistem absensi digital memiliki standar keamanan data yang tinggi, seperti enkripsi data dan kebijakan privasi yang sesuai dengan UU PDP. Memilih vendor yang kredibel adalah bagian dari kewajiban kepatuhan HR.

4. Keadilan dan Kesetaraan dalam Penerapan Kebijakan

Aspek hukum tidak hanya tentang peraturan tertulis, tetapi juga tentang prinsip keadilan dalam hubungan kerja.

  • Implikasi Hukum: Perusahaan harus menerapkan kebijakan absensi secara konsisten dan tidak diskriminatif. Aturan yang sama harus berlaku untuk semua karyawan dalam level atau kondisi kerja yang setara.
  • Peran Absensi Digital:
    • Objektivitas: Sistem digital mencatat setiap keterlambatan dengan presisi yang sama untuk semua orang, menghilangkan subjektivitas atau bias dari atasan.
    • Transparansi: Dengan fitur Employee Self-Service, setiap karyawan dapat melihat data kehadirannya sendiri. Transparansi ini memastikan bahwa jika ada sanksi atau pemotongan tunjangan, dasarnya adalah data yang bisa diverifikasi oleh karyawan itu sendiri, mengurangi potensi perselisihan.

Kesimpulan: Absensi Digital sebagai Alat Kepatuhan

Jauh dari sekadar alat efisiensi, sistem absensi digital yang diimplementasikan dengan benar adalah alat yang sangat kuat untuk memastikan kepatuhan HR terhadap regulasi ketenagakerjaan yang kompleks di Indonesia.

Dengan menyediakan catatan waktu kerja yang akurat, mengotomatiskan perhitungan lembur yang rumit, memfasilitasi manajemen persetujuan yang terdokumentasi, dan memastikan penerapan kebijakan yang adil, sistem ini membantu perusahaan memitigasi risiko hukum.

Namun, teknologi ini harus selalu diimbangi dengan pemahaman yang mendalam tentang aspek hukum absensi. Sebelum memilih dan menerapkan sistem, pastikan Anda telah berkonsultasi dengan ahli hukum atau konsultan HR untuk memastikan bahwa konfigurasi dan kebijakan yang Anda buat sepenuhnya sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk UU Cipta Kerja dan UU Pelindungan Data Pribadi.